Dari EvO ke EBI: Lika-Liku Ejaan Bahasa Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia

sumpah pemuda, sejak 28 oktober 1928

Begitulah isi teks sumpah pemuda yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 28 Oktober. Walaupun sebenarnya yang dimaksud dengan “Sumpah Pemuda” itu merupakan hasil keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan selama dua hari, yaitu tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di Batavia (kini bernama Jakarta).

Seperti yang tertera dalam isi teks sumpah pemuda, seluruh putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa nasional kita, Bahasa Indonesia. Apakah sebelumnya kalian sudah tahu belum sejarah bahasa negara kita?

Sebagai rakyat Indonesia, sudah sewajarnya kita kepo dong dengan sejarah perkembangan bahasa nasional. Apakah itu turunan dari bahasa daerah atau tiba-tiba muncul begitu saja, ya? Terus, beda nggak ya, bahasa Indonesia sekarang dengan yang dulu? Well, yuk kita cari tahu bersama!

Usut punya usut, ternyata Bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu secara historis. Bahasa Melayu juga telah dipakai sebagai lingua franca–dalam bahasa Indonesia berarti bahasa pergaulan, yang selama berabad-abad sebelumnya di kawasan negara kita. Hal ini juga didukung dengan penemuan prasasti di Palembang, Jambi, dan Bangka.

Berdasarkan bukti di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa tersebut Bahasa Melayu memiliki berbagai fungsi, di antaranya:

  1. Sebagai bahasa penghubung,
  2. Sebagai bahasa kebudayaan,
  3. Sebagai bahasa perdagangan.

Sampai pada saat perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia memerlukan alat pemersatu bangsa. Maka, dipilihlah Bahasa Melayu pada tanggal 28 Oktober 1928. Penetapan tersebut  merupakan awal bahasa Indonesia menjadi bahasa Nasional.

Apa Sebab Bahasa Melayu dijadikan Bahasa Nasional?

Well, ternyata terdapat beberapa faktor yang menyebabkan bahasa Melayu menjadi bahasa Nasional dibandingkan bahasa daerah lainnya. Menurut beberapa ahli faktor-faktor tersebut ialah:

  1. Sejarah telah membantu penyebaran bahasa melayu;
  2. Bahasa Melayu memiliki sistem tata bahasa yang sederhana;
  3. Bahasa Melayu masih berkerabatan dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing;
  4. Bahasa Melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antara penutur yang berasal dari berbagai daerah;
  5. Faktor psikologis;
  6. Dan yang terakhir kesanggupan bahasa itu sendiri

Berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tidak heran mengapa bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa Nasional. Kita juga wajib untuk bersyukur atas kerelaan suku-suku lainnya yang membelakangkan bahasa ibu mereka demi cita-cita yang lebih tinggi, yaitu cita-cita nasional.


Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia Sejak Sebelum Merdeka

Layaknya manusia yang selalu berubah secara dinamis, bahasa juga demikian rupanya. Dari masa ke masa, bahasa kita terus mengalami perkembangan loh, guys. Uniknya, perkembangan bahasa ini juga mengikuti perkembangan kehidupan manusia.

Mulai dari masa penjajahan Belanda hingga saat ini, bahasa Nasional kita telah mengalami perubahan sebanyak tujuh kali. Dari ejaan Van Ophuijsen (EvO) hingga Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), sungguh lika-liku yang layak diperbincangkan!

1. Ejaan van Ophujsen (EvO; 1901-1947)

Charles Adrian van Ophujsen
Prof. Charles Adrian van Ophujsen, dok: indozone.

Charles Adrian van Ophujsen ( Ch.A. van Ophujsen) merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan bahasa Indonesia. Beliau merupakan seorang inspektor pendidikan (dasar) bagi rakyat Indonesia kala itu, dan ditugaskan oleh Belanda untuk merancang sistem ejaan dasar yang menetap dan ilmiah untuk nantinya digunakan dalam sistem pengajaran.

Contoh ejaan van Ophujsen pada majalah
Ejaan van Ophuijsen. Dok: Abdoelsalam via Desain Grafis Indonesia.

Pada tahun 1901, akhirnya muncullah hasil kerja beliau bersama Nawawi Gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Thaib Soetan. Ejaan van Ophuijsen terbentuk dari sebuah daftar kata yang diawali dengan uraian singkat tentang aturan-aturan ejaan. Aturan-aturan tersebut di antaranya:

  1. Penulisan kata koe (akoe), kau, se, ke, dan di secara serangkai dengan kata di belakangnya. Seperti kaumakan, koejalan, seorang, ketoko, diambil;
  2. Penggunaan kata poen- dihubungkan dengan kata sebelumnya. Contohnya “Walaupoen sang radja hendak pergi ke medan perang, adapoen rakjat mendatanginya.”;
  3. Terdapat awalan ke- dan se-, contoh:keluar, selaras, sewindu;
  4. Menariknya, ternyata ejaan ini juga sudah membahas awalan ber-, ter-, dan per yang bila dirangkai dengan kata dasar berawalan huruf r akan luluh. Contoh: beragam, terasa, peraih.
  5. Akhiran –i diberi tanda (”) apabila didahului oleh huruf a, contohnya pandai”, lalai”, sungai”;
  6. Huruf j dibaca y, contohnya sajang, ejang, boenji;
  7. Huruf oe dibaca u, contohnya pada kata oeang, oedang, Soekarno, oemur;
  8. Penggunaan tanda diakritik, seperti koma(‘), ain (‘), dan trema (“), untuk menuliskan kata-kata ma’mum, sêri, téras, kêcap, dsb.
  9. Penggantian huruf tj dalam pengejaan huruf c, seperti tjantik→cantik, tjahaya→cahaya, tjanda→canda, dsb;
  10. Penggantian huruf ch menjadi kh, seperti chusus→khusus, achir→akhir, tarich→tarikh.

2. Ejaan Soewandi (1947)

Ejaan Soewandi/ejaan Republik
Bapak Soewandi. dok: bobo.grid.id

Ejaan Soewandi resmi menggantikan EvO pada tanggal 19 Maret 1947 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 264/Bhg.A. Ejaan ini disebut ejaan Soewandi karena penyusunnya adalah Mr. Raden Soewandi yang pada waktu itu merupakan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Ejaan ini juga dikenal sebagai Ejaan Republik.

Ciri-ciri ejaan Soewandi ialah:

  1. Penggantian huruf oe menjadi u;
  2. Penggunaan hururf k untuk menggantikan bunyi hamzah dan bunyi sentak, contoh: pak, untuk, tak;
  3. Pemakaian angka 2 dalam pengulangan kata seperti kupu2, berhari2, ubur2;
  4. Awalan di- dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang menyertainya. Seperti pada kalimat “Bakmi dijual dikantin sekolah.”;
  5. Kata dasar berhuruf e (seperti membaca pepet dalam bahasa Jawa) boleh dihilangkan. Contoh: perahu menjadi prahu, menteri menjadi mentri, tetapi tidak pada kata berimbuhan, misalnya perangkap tidak menjadi prangkap.

3. Ejaan Pembaharuan (1957)

Ejaan Pembaharuan sempat terdapat polemik dalam pembuatannya hingga pada akhirnya nggak jadi diresmikan. Bermula pada tahun 1954, Prof. M. Yamin yang memprakarsai kongres bahasa II di Medan memutuskan agar ejaan Soewandi disempurnakan. Adapun saran penyempurnaan yang diajukan, yaitu:

  1. Satu bunyi satu huruf;
  2. Penetapan dilakukan oleh badan yang kompeten;
  3. Ejaan praktis, tetapi ilmiah.

Tahun 1956, Menteri Sarino membentuk Panitia Pembaruan Ejaan. Di samping itu, persekutuan Tanah Melayu ingin mengadakan penyatuan ejaan dengan bahasa Indonesia.

Ejaan ini mengatur beberapa hal, yakni:

  1. Diftong ai, oi, au ditulis menjadi ay, oy, aw;
  2. ɳ (ng), Ŝ (sj), ñ (nj), t (tj) merupakan huruf-huruf yang terdapat pada ejaan ini;
  3. Fonem h dihilangkan apabila terletak di depan dan di antara dua huruf vokal berbeda. Misalnya, hujan menjadi ujan, kata tahu menjadi tau;
  4. Konsonan rangkap pada akhir kata dihilangkan, misalnya president menjadi presiden;
  5. Partikel yang berarti juga dan saja, ditulis terpisah, contohnya sekalipun menjadi sekali pun;
  6. Kata berulang yang memiliki arti tunggal ditulis tanpa tanda hubung, contohnya kupukupu. Sedangkan kata yang bermakna jamak menggunakan tanda hubung, contohnya ibu-ibu, bapak-bapak.

4. Ejaan Melayu Indonesia (Melindo; 1959)

Ejaan Melindo juga memiliki nasib yang sama dengan ejaan sebelumnya. Meskipun demikian, niat pembuatan ejaan ini ialah untuk mempererat hubungan antara Indonesia dan Malaysia.

Sayangnya, dikarenakan situasi politik yang sedang memanas pada saat itu, proses pembentukan ejaan ini dihentikan. Selain itu, ejaan ini dianggap memiliki huruf-huruf aneh karena tidak memiliki kesamaan dengan huruf latin, seperti misalnya kata “menyanyi” ditulis “meɳaɳi”; “syair” ditulis “Ŝyair”; “ngobrol” menjadi “ɳobrol”; atau “koboi” ditulis “koboy”.

5. Ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK; 1996)

Ejaan LBK muncul karena ketidaksetujuan akan konsep Melindo. Pada tahun 1967, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang bernama Pusat Bahasa), mengeluarkan Ejaan Baru atau Ejaan LBK. Selain pada rincian kaidah-kaidah, nyaris tidak ada perbedaan berarti antara ejaan LBK dengan EYD.

Adapun ciri-ciri dalam ejaan ini ialah:

  1. Ada enam huruf vokal (a,i,u,e,Ə,o);
  2. Diftong tetap;
  3. Ke dan Di pada kata depan dibedakan antara kata tempat dan kegiatan, contohnya: surat itu ditulis di rumahnya;
  4. Kata ulang ditulis lengkap dan menggunakan tanda hubung; dan
  5. Istilah asing seperti guerilla (spanyol), coup de’etat (Prancis), dan extra (Inggris) diubah menjadi gerilya, kudeta, dan ekstra.

6. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD; 1972)

Nah, sekarang saatnya kita membahas ejaan yang paling populer, EYD! Sudah nggak diragukan lagi kalau semua kalangan di Indonesia pasti kenal dengan ejaan ini.

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Almarhum Presiden Soeharto dan hebatnya, EYD merupakan ejaan yang paling lama digunakan loh, guys!

Ejaan ini juga mengatur secara lengkap penulisan bahasa Indonesia, antara lain bahasa serapan, tanda baca, pemakain kata, pelafalan huruf e, penggunaan huruf kapital, dan penggunaan cetak miring. Selain itu, huruf f, v, q, x, dan z yang terkenal dengan unsur bahasa asing resmi menjadi bagian bahasa Indonesia.

7. Ejaan Bahasa Indonesia (EBI, 2015)

The last but not least, EBI! Hayo, siapa yang disini ngira kalau EBI salah satu makanan? Jangan keliru, ya, guys, karena EBI di sini merupakan singkatan dari Ejaan Bahasa Indonesia yang diresmikan pada tahun 2015 kemarin.

Peresmian penggunaan ejaan baru ini dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi yang semakin hari semakin pesat, sehingga pemakaian bahasa Indonesia pun semakin luas.

Anyway, dalam ejaan ini juga nggak ada perubahan secara signifikan antara EBI dan EYD. EBI hanya sedikit menambahkan beberapa aturan seperti:

  1. Huruf diftong yang berlaku antara lain: ai, au, ei, oi;
  2. Lafal huruf e menjadi tiga jenis, seperti petak, kena, militer;
  3. Penulisan cetak tebal untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring, dan bagian-bagian karangan seperti judul, bab, dan subbab;
  4. Huruf kapital pada nama julukan seseorang, seperti Pak Haji Somat;
  5. Tanda elipsis (…) digunakan dalam kalimat yang tidak selesai dalam dialog.

Kira-kira, menurut kalian apakah EBI nantinya akan berubah? Atau akan menjadi ejaan yang permanen? So, terlepas dari dua pertanyaan itu, pastinya dunia akan selalu berkembang dan ejaan bahasa kita pastinya akan mengikuti perkembangan dunia.

Oke, sampai di sini dulu, ya, cerita lika-liku perkembangan ejaan Bahasa Indonesia, dari EvO sampai EBI. Nantikan artikel menarik dan informatif lainnya dari Page Turner ID! Jangan lupa sampaikan isi pikiran kalian di kolom komentar ya!

Sumber:

  1. Tim Penulis, Cendekia Bahasa: Pengantar Penulisan Ilmiah, IPB Press, Bogor;
  2. Fajar Erikha, Ejdaan Tempo Doeloe hingga Ejaan yang Disempurnakan, https://www.zenius.net/blog/sejarah-eyd-ejaan-bahasa-indonesia#1_Ejaan_van_Ophuysen_1901-1947
  3. Fauzia Astuti, Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia: dari Djadoel samapai kekinian, https://www.ruangguru.com/blog/perkembangan-ejaan-bahasa-indonesia
Penulis: Nada Amira

Penyunting: Addini Safitri, Margaretha Indra P.

Published by Page Turner ID

Membangun gerakan #AnakMudaSukaMembaca Find your #PageTurnerExperience !

One thought on “Dari EvO ke EBI: Lika-Liku Ejaan Bahasa Indonesia

Leave a comment